Manusia

Beberapa waktu yang lalu saya membuat puisi tentang manusia yang sudah tidak seperti manusia. Lantas malam ini saya tiba-tiba terpikir akan hal itu saat sedang makan malam. Memangnya manusia itu seharusnya seperti apa?

Berbekal pengetahuan saya yang sangat kurang perihal beginian, saya buka KBBI. Saya baca dan saya tidak puas dengan apa yang tertulis di situ. Hal yang seperti itu sih ya memang sudah jelas definisinya begitu. Saya juga tidak tahu harus ke mana untuk menemukan jawaban, jadi ya saya tulis saja di sini dulu. Siapa tahu pembaca blog ini bisa membantu saya menjawab.

Pertanyaan saya, seperti yang saya tulis di atas, memangnya manusia itu seharusnya seperti apa? Apakah manusia itu harus selalu “dekat dengan Tuhan, dekat dengan manusia lain, dan dekat dengan alam” seperti yang belakangan ini sering saya dengar? Apakah manusia itu harus selalu peduli pada manusia lainnya? Atau apa?

Malam ini saya mengobrol dengan teman-teman saya saat pikiran ini terlintas di kepala. Bukan, pikiran ini tidak lantas menjadi bahan pembicaraan. Saya hanya terpikir ini tentang salah satu teman saya.

Teman saya yang satu ini sangat, sangat, peduli pada apapun yang terkait dengan teknologi dan ilmu pengetahuan tentang teknologi. Tanya dia soal apapun mengenai teknologi, dia pasti tahu. Dia punya keingintahuan yang sangat besar, dan tidak selalu tentang teknologi.

Ya, di situ kelemahannya. Keingintahuannya yang besar itu kadang menimbulkan rasa kesal pada orang-orang sekitarnya. Bahkan saya yang bisa dibilang tergolong dekat dengan dia, kadang-kadang bisa merasa sangat kesal padanya. Mengapa? Karena dia sangat tidak bisa membaca situasi. Dia bisa dengan cepat menimpali pembicaraan tanpa tahu secara menyeluruh, apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. Dia sering bertanya tentang hal-hal yang kadang oleh orang dianggap sebagai: none of your business. Keadaan itu tidak didukung oleh ketidakmampuannya untuk melihat emosi dari orang lain. Dia tidak bisa mengerti saat orang menunjukkan muka sebal karena terlalu banyak ditanyai, dan sebagainya.

Jangan anggap dia seperti robot yang tidak punya perasaan, ya. Dia sama seperti manusia normal pada umumnya. Tertawa akan hal yang lucu, marah jika diganggu, dan serius saat mengejar yang dia inginkan. Hal lain yang menurut saya manusiawi darinya adalah kegemarannya bermain game dan makan pedas. Meskipun yang terakhir itu agak kurang manusiawi karena dia sepertinya sudah kebal pada rasa pedas. Saat orang normal bilang pedas, dia bilang kurang. Ah sudahlah.

Intinya adalah, apakah orang yang semacam itu bisa dibilang bukan manusia? Dia sepertinya memang sudah tertarik hal-hal semacam itu sejak kecil sampai sekarang. Berarti bukan lingkungan kampus yang membuatnya begitu. Tapi kalau yang begitu itu bukan manusia, lantas yang manusia itu seperti apa? Justru menurut saya kurang manusiawi jika menyebut yang semacam ini bukan manusia.

Lagipula, apa salah saat seseorang begitu bersemangat dan fokus dalam mengejar apa yang ia paling suka dalam hidup? Menggeluti apa yang menjadi kesukaannya lantas menjadi keahliannya. Bisa saja beberapa tahun ke depan dia bisa menyelamatkan umat manusia karena hal tersebut. Justru dia bisa fokus pada apa yang dia paling kuasai sebelum menggunakan hal tersebut sebagai senjata untuk menyelamatkan dunia. Bukan seperti orang-orang yang punya suatu fokus dalam hidup tapi malah mengambil jalan yang tidak ada hubungannya dengan fokus tersebut. Atau lebih parah, tidak punya fokus dalam hidup semata-mata karena tidak tahu apa hal yang bisa membuatnya sangat tertarik untuk menggelutinya.